Sejarah & Budaya

Desa Jambi Di Tanah Jawa

Oleh; Via Dicky (Sejarahwan)

SepucukJambi9Lurah. KataFakta.id

Dilihat sepintas lalu bahwa Desa Jambi di Kecamatan Baron sama dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Nganjuk, yaitu Desa agraris dengan lahan pertanian terbentang relative luas, tak ada keistimewaan yang menonjol, namun apabila mau mengamati lebih teliti, ternyata ada perbedaan yang menunjukan peran Jambi dimasa lampau berupa sisa-sisa peninggalan kuno. Sisa-sisa itu adalah :

Banyak batu bata ukuran besar, bahkan oleh penduduk sering menemukan seperti rangkaian bekas pondasi rumah, terutama disekitar tempat penggilingan padi sampai kearah utara. Oleh penduduk bekas batu bata tersebut dimanfaatkan untuk membangun rumah maupun pagar tembok.
Di tengah sawah desa, tersisa satu buah lumpang batu yang belum sempat tercuri, oleh penduduk dipercaya masih keramat.
Tanah persawahan yang lebih rendah dari sekitarnya dengan lebar lebih dari 50 meter membujur dari selatan ke utara bersambung dengan desa-desa lain di sebelah dan utaranya oleh penduduk diyakini sebagai Bangsawan Brantas pada abad yang lalu.
Pada sekitar tahun 927-929 M, Malayu mengirimkan suatu armada besar dari Jambi ke Jawa Timur melalui perjalanan laut dengan route menyusuri pantai utara Jawa, memasuki Bengawan / kali Brantas. Sesampainya di Ujung Galuh, perjalanan diteruskan ke kota pelabuhan berikutnya yaitu Bandar Alim. Kehadirin pasukan Jambi dalam jumlah banyak menyulap daerah sekitar menjadi mendadak ramai. Tempat inilah yang sekarang dinamakan Desa Jambi.

DIAWALI DARI SINI

Kemenangan Mpu Sindok atas Malayu di Anjuk Ladang bukanlah kemenangan yang “memusnahkan” pihak musuh, tetapi kemenangan yang berujung pada rekonsiliasi. Sisa-sisa pasukan Malayu yang terdesak saat itu tidak habis dibunuh, tetapi ditawarkan kesepakatan damai. Alasan pertama karena jika perang diteruskan akan menghabiskan lebih banyak sumber daya, kedua karena pada dasarnya orang-orang Malayu adalah kaum Syailendra yang notabene merupakan saudara setanah air dengan Medang (Sanjaya).

Bagi yang menolak tawaran rekonsiliasi itu memilih mundur dan pulang ke Swarnabhumi, namun sebagian sisa-sisa pasukan Malayu banyak yang tidak kembali ke Swarnabhumi dengan “kekalahan”, tetapi memilih mengabdi pada Medang dan hidup berdampingan dengan damai bersama masyarakat Anjuk Ladang. Markas perang mereka yang ada di Desa Jambi yang membentang sampai ke utara tetap menjadi pemukiman bagi orang-orang Malayu itu. Dalam perkembangannya daerah sebelah utara itu disebut Nglayu (sekarang menjadi Ngluyu). Di sana mereka menyimpan dengan aman warisan harta kekayaan dari negeri asal mereka, perhiasan emas, koin-koin dinasti Tang, dan manik-manik khas Muaro Jambi.

Sebagai komitmen rekonsilasi tersebut, Mpu Sindok membuat wangsa baru yaitu Wangsa Isyana yang mengisyaratkan persatuan antara Sanjaya dan Syailendra. Karena itu, dibangunlah sebuah candi peribadatan bagi Sang Hyang Prasadha Kabhaktian yang bukan hanya diperuntukkan bagi kaum Siwa, namun juga diperuntukkan bagi kaum Buddha, yaitu orang-orang Malayu yang memilih mengabdi pada Medang. Mereka diijinkan meletakkan 90 pantheon Buddha dari bahan perunggu di kompleks Candi sebagai simbol persatuan Siwa-Buddha.

Kutipan isi prasasti Anjuk Ladang yang menyebutkan hal itu: A. 14 – 15: … parnnaha nikanaŋ lmah uŋwana saŋ hyaŋ prasada atêhêra jaya[sta]mbha wiwit matêwêkniraŋlahakan satru[nira] [haj]ja[n] ri [ma]layu (= di tempat ini [yang telah terpilih] agar menjadi tempat didirikannya bangunan suci, sebagai pengganti tugu kemenangan, [di sanalah] pertamakali menandai saat ia [raja] mengalahkan musuhnya raja dari Malayu).

Prasasti ini sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta dengan Nomor Inventaris D.59.

Prasasti Anjuk Ladang yang menceritakan tentang pasukan melayu (Jambi) yang menyerang Jawa pada tahun 927
(415/Tim PUDAS Jambi)

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button