Sejarah & Budaya

Negeri Jawa

Oleh; Via Dicky (Sejarahwan)

Jambi. katafakta.id

Dalam Ying Ya Sheng Lan , Ma Huan pada abad ke 15 Masehi mengisahkan kesannya pertama kali ketika tiba di Kota Raja Majapahit (dahulu disebut Kerajaan Negeri Jawa ) di Jawa, sebagai berikut:

Negeri Jawa dahulu disebut Zhe Po, terletak di empat tempat, tidak dikelilingi tembok kota. Kapal yang datang dari luar negeri pertama singgah di tempat yang disebut Tuban, lalu sampai di tempat yang disebut Gresik, lalu sampai lagi di tempat yang disebut Surabaya, akhirnya sampai di tempat yang disebut Majapahit, tempat raja bertakhta yang dikelilingi tembok yang tingginya 3-4 zhang (1 zhang 10 ela-Pen.), panjang lingkarannya 200 langkah lebih, di dalamnya ada pintu rangkap, sangat rapi dan bersih. Bangunan rumahnya bertingkat. Tiap tingkat tingginya 3 zhang, berlantaikan papan yang ditilami tikar rotan atau tikar pacar. Raja duduk bersila di atasnya. Genteng di atapnya terbuat dari kayu keras yang disusun secara bersela-sela. Penduduk negeri tinggal di gubuk lalang. Di setiap keluarga terdapat sebuah gudang yang terbuat dari batu bata, tingginya 3-4 ela, di dalamnya tersimpan macam-macam barang dan orang duduk atau tidur di atasnya. Rajanya bertajuk mahkota yang dihiasi bunga dan daun emas, tubuhnya tidak berjubah, bawahnya bersarung sutra, pinggang nya diikat dengan selendang sutra dewangga, diselipkan satu dan dua golok pendek yang disebut beladau, keluar masuk tidak berkasut, naik gajah atau naik pedati.

Mengenai penduduk nya,
Kemudian Ma Huan sangat cermat meneliti pakaian, dandanan, dan cara hidup orang negeri. Terasa semuanya sangat baru baginya sehingga meninggalkan kesan yang sangat dalam.
Laki-lakinya berambut terurai. Perempuannya bersanggul gantung. Tubuhnya di atas berbaju, di bawah berkain sarung. Di pinggang laki-laki terselip sebilah beladau. Dari anak kecil berusia tiga tahun sampai kakek tua berusia seratus tahun memiliki golok yang terbuat dari besi baja putih yang bermutu tinggi, gagangnya dibuat dari emas atau cula badak atau gading gajah yang diukir menjadi bentuk kepala malaikat, sangat halus dan rapi. Baik laki- laki maupun perempuan sangat menyayangi kepalanya. Barangsiapa berani merabanya, atau dalam berdagang ada yang uang dan barangnya tidak beres, atau berbuat gila- gilaan ketika mabuk sehingga menimbulkan percekcokan, maka orang yang bersangkutan segera mencabut beladau lantas menikamnya, dan siapa yang kuat dia menang. Lalu siapa yang menikam orang sampai mati boleh menyem bunyikan diri tiga hari, kemudian muncul kembali dan tidak akan dituntut untuk menebus jiwa. Jika dia tertang- kap basah, dia akan ditikam mati…. Laki-laki dan perem puan tak henti-hentinya mengunyah daun sirih bersama dengan pinang dan kapur, sampai saat mau makan baru sirihnya dimuntahkan dan mulutnya berkumur. Kedua tangannya dicuci bersih, lalu semua duduk berkerumun. Piringnya diisi dengan nasi sampai penuh lalu disirami kuah santan dan orang memakannya dengan tangan dan kalau haus langsung minum air. Tamu yang datang pun tidak disuguhi teh, tetapi disuguhi sirih saja.
Juga pemakamannya sangat menarik. Seluruh prosesnya dituturkan dengan cermat.

Tentang adat pemakamannya dilangsungkan sebagai berikut: Jika ada orang tua yang sudah mendekati ajal, maka putra-putrinya akan menanyakan dulu cara pemakaman mana yang dikehendakinya: apakah pemakaman dimakan anjing, pemakaman di bakar atau pemakaman dihanyutkan ke sungai. Putra-putrinya akan melaksanakan apa yang dipesankan ketika orang tuanya akan meninggal. Jika orang kaya atau penghulu ningrat akan meninggal maka orang bawahannya dan gundik-gundiknya bersumpah kepada tuannya bahwa mereka akan ikut bersama- sama mati. Dan bila tiba hari pemakamannya, maka dibuat panggung tinggi di mana diletakkan peti jenazahnya dan ditimbuni kayu bakar di bawahnya, lalu dinyalakan api untuk membakarnya. Ketika apinya sudah menyala besar, maka menurut sumpah, sebelumnya dua tiga orang hamba dan gundiknya dengan bertudung kan rumput dan bunga dan berselendang warna warni pada terjun kedalam api dan menangis lama-lama bersama tuannya sampai menjadi abu. Demikianlah apa yang disebut upacara pemakaman dengan kurban. (Liang Liji :217-219)

Foto : Candi Prambanan sebelum dipugar tahun 1918.
(415/Tim)

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button