Lingkungan

Meski Pandemi Covid-19, Warga Bujang Raba Peroleh Rp 1 Milyar dari ‘’Jualan Angin’’

KATAFAKTA, JAMBI - Di saat warga desa lain kebingungan mencari uang untuk membeli kebutuhan pokok, tidak demikian halnya dengan warga lima desa di sekitar Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (Bujang Raba). Warga di lima desa tersebut memperoleh uang Rp 1 milyar dari jualan angin.

Ya, jualan angin. Istilah jualan angin dikenalkan oleh KKI Warsi sebagai istilah pengganti untuk perdagangan carbon. Dengan tidak menebang sama sekali hutan yang ada di desa mereka, warga mendapat ‘upah jasa’ yang nilainya tidak sedikit.

Alhasil, di saat wabah Covid-19 sekarang ini, warga di lima desa tersebut tidak kebingungan untuk membeli kebutuhan pokok.

Menurut Koordinator Program KKI Warsi, Emmy Primadona, kelima desa tersebut adalah Sungai Telang, Senamat ulu, Laman Panjang, Lubuk Beringin, dan Sangi Letung. Keseluruhan desa berada di Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Jambi. Mereka mengelola dan menjaga hutan seluas 5.336 hektar.

Warga di lima desa ini mempertahankan hutan dengan cara menerapkan skema Hutan Desa. Warga sepakat untuk tidak menebang kayu di hutan Bujang Raba.

Dengan tidak ada kehilangan tegakan pohon, berarti semua karbon tersimpan dalam bentuk stok karbon alam, tidak ada yang dilepas ke udara. Inilah yang kemudian diperdagangkan di pasar karbon sehingga menghasilkan imbal balik materi bagi warga.

“Penyimpanan karbon dalam kawasan hutan inilah yang menjadi nilai tambah Bujang Raba. Sejak 2018, Bujang Raba masuk pasar karbon sukarela,” kata Emmy Primadona, Selasa, 5 Mei 2020.

Emmy menyebutkan di tahun 2020 ini warga di sekitar Bujang Raba mendapat dana karbon sebesar Rp 1 Miliar. Melalui musyawarah warga kelima desa akhirnya disepakat dana tersebut dibelikan paket sembako, kebutuhan pembangunan sarana publik, dan dana operasional kelompok Pengelola Hutan Desa. Nah, yang sembako dibagikan secara bertahap ke desa-desa pengelola Hutan Desa.

Pada tahap awal, sebanyak 504 paket diserahkan ke Sungai Telang, Senamat Ulu, dan Laman Panjang. Paket berisi beras, telur, minyak dan lainnya tergantung dari permintaan masing-masing desa.

“Kita melihat dengan bantuan ini, cukup membantu meringankan beban masyarakat di tengah wabah pandemi ini,” ujar Emmy.

Jualan Angin

Sejak 2013, KKI Warsi tertarik mengembangkan perdagangan karbon, atau disebutnya sebagai ‘menjual angin’, lewat model Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di level komunitas atau community carbon.

Kegiatan ini dilakukan untuk melihat peran masyarakat memitigasi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim sekaligus untuk mengetahui bagaimana pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) bekerja.

Tahap awal, Warsi antara lain memastikan tidak ada perubahan tutupan hutan, lalu menghitung stok karbon, dan menyiapkan Project Design Document (PDD) untuk Program Plan Vivo.

Sejalan dengan itu, di tingkat masyarakat dilakukan penggalian aspirasi dan penguatan kesepakatan pengelolaan kawasan hutan berkelanjutan. Seluruh kegiatan diukur kinerjanya oleh pihak ketiga dengan melakukan verifikasi dan validasi lapangan sampai kemudian Warsi memiliki akun di Carbon Market.

Di carbon market, Bujang Raba ditawarkan ke berbagai pihak mulai 2015. Namun, tidak mudah menemukan pembeli, apalagi di tengah regulasi yang belum memihak masyarakat.

Proyek perdana ini, katanya, baru menemukan pembeli pada 2018 melalui jasa broker atau makelar. Emmy menerangkan jasa broker diperlukan untuk melakukan survei kelayakan lokasi.

Selain itu, pasar karbon masih mengambang, belum terlalu jelas siapa dan bagaimana prosesnya. Namun, upaya untuk memberikan manfaat langsung kepada masyarakat mendorong Warsi untuk terus mencoba. Transaksi perdana karbon dari Bujang Raba mencapai 6.000 ton pada 2018.

Dananya dimanfaatkan langsung untuk mendukung kegiatan layanan kesehatan dan pendidikan (paket beasiswa), penguatan institusi Hutan Desa di lima desa dalam kawasan Bujang Raba serta peningkatan ekonomi masyarakat dan biaya operasional pengamanan kawasan. Selanjutnya pasar karbon terus bergulir dan pembelian tahap berikutnya juga berjalan.

“Saat ini sedang dalam proses penggalian pada masyarakat untuk distribusi manfaat dana karbon yang terkumpul. Tentu harapannya, dana karbon ini bisa dirasakan manfaatnya oleh 1.259 rumah tangga yang menggantungkan hidup dan mata pencaharian mereka pada alam melalui agroforestry berkelanjutan,” urainya.

Program ini, katanya, sejalan dengan pelaksanaan program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+), yang mulai digagas sejak Konferensi Perubahan Iklim (COP) 13 di Bali.

REDD+ merupakan upaya untuk memberikan insentif keuangan dalam mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Salah satu bentuknya adalah perdagangan karbon.

Istilah ini merepresentasikan aktivitas penyaluran dana dari negara-negara penghasil emisi karbon kepada negara-negara yang memiliki potensi sumber daya alam yang mampu menyerap emisi karbon secara alami. Kriteria negara penerima adalah mampu mempertahankan hutan dari deforestasi dan degradasi.***

Muhamad Usman

Show More

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button