Seperti diberitakan Radio Free Asia (RFA), akhir pekan lalu, pemerintah China menganggap puasa dan ibadah lainnya selama bulan Ramadhan adalah bentuk ekstremisme beragama.
Di beberapa wilayah Xinjiang, masjid-masjid dikendalikan dengan ketat, restoran diminta untuk tetap buka. Para warga Uighur yang lanjut usia diminta untuk berjanji sebelum Ramadhan bahwa mereka tak akan berpuasa atau salat Tarawih, jadi contoh Uighur lainnya.
Salah seorang pejabat pemerintah di kota Makit, Xinjiang, mengatakan kepada RFA, alasan pelarangan itu adalah untuk “keamanan nasional”. Itulah sebabnya sudah dua hingga tiga tahun ini, kata dia, orang-orang Muslim di desanya tak lagi berpuasa Ramadhan.
“Jika mereka puasa, mereka akan berkumpul untuk makan, dan jika mereka berkumpul, mereka akan mengganggu masyarakat, mereka mengancam keamanan nasional. Itulah mengapa kami menentang Ramadhan,” kata pejabat yang tidak disebut namanya itu.
Dia juga mengatakan, warga harus melaporkan jika ada Muslim yang berpuasa kepada aparat. “Jika kami menemukan orang berpuasa Ramadhan, kami akan memberi tahu pejabat yang bertanggung jawab di desa atau kota itu,” kata dia.
“Kami lalu memberitahu polisi, tapi karena kami belum menemukan satu orang pun yang berpuasa di kota, kami belum mendapatkan laporannya,” lanjut dia.
Jika ditemukan ada yang berpuasa, dia mengancam akan menghukum mereka, termasuk mengirim ke kamp konsentrasi.
PBB memperkirakan ada lebih dari 1 juta Muslim Uighur yang disekap di kamp-kamp konsentrasi di China atas tuduhan terorisme. Di kamp berkedok lembaga pelatihan ini, mereka diperlakukan dengan buruk, dipaksa menanggalkan agamanya, dan patuh pada Partai Komunis China.
Pelaporan warga yang puasa ini juga dibenarkan oleh polisi di Urumqi, ibu kota Xinjiang. Dia mengatakan ada panduan khusus selama Ramadhan bagai aparat dan ada catatan orang-orang yang puasa serta ke masjid di bulan suci.
“Iya, ada. Kami ada unit polisi khusus untuk melacak itu,” kata dia.
Berbagai cara juga dilakukan pemerintah Xinjiang agar Muslim Uighur tak puasa. Salah satunya di Jiashi, Kashgar. Warga wajib menghadiri upacara pengibaran bendera di waktu Magrib, agar mereka tak bisa buka puasa dan ketahuan siapa yang berpuasa.
“Karena kami melakukan upacara pengibaran bendera, pengawasan antarwarga diperkuat, jadi tidak ada yang bisa buka puasa,” kata seorang pejabat di Jiashi.
Selain itu, mereka juga menggelar studi politik dari pukul 21.30 hingga 11.30, waktu untuk salat Tarawih di bulan Ramadhan.
Setiap tahunnya juga, kelompok Uighur di pengasingan menyerukan dunia untuk bersuara terkait nasib Muslim di Xinjiang. Kongres Uighur Dunia (WUC) di Jerman mengatakan negara-negara Muslim seharusnya “malu karena diam saja” atas situasi di Xinjiang.
WUC Jerman menyerukan negara-negara Muslim untuk “merekatkan kembali keyakinan dan nilai-nilai yang mereka pegang untuk melakukan hal yang benar dengan menyerukan China menghentikan kejahatan kemanusiaan terhadap Uighur.”
Hal yang sama disampaikan oleh lembaga Kampanye untuk Uighur (CFU) yang berbasis di Washington, Amerika Serikat. Mereka mengatakan, puasa Ramadhan seharusnya mengingatkan kita tentang penderitaan dan perjuangan orang susah.
“Untuk itu, kami meminta Anda melakukan hal yang sama. Ingatlah orang-orang Uighur yang dijauhkan dari keluarga mereka, mereka yang dipersekusi karena agama mereka yang damai, dan mereka yang dipenjara tanpa kesalahan apa-apa,” kata CFU.***
Muhamad Usman