Katafakta.id (Jakarta) Indonesia berkomitmen memerangi perubahan iklim di tengah menghadapi tantangan iklim dan tantangan pandemi. Menjelang pelaksanaan COP-26 UNFCCC Glasgow, Inggris pada 31 Oktober – 12 November 2021, Indonesia telah menyampaikan dokumen Updated NDC kepada Sekretariat UNFCCC pada tanggal 21 Juli 2021. Untuk menggali informasi dalam updated NDC tersebut dan upaya penurunan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan / Forestry and Other Land Use (FOLU) dan sektor energi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) kembali menyelenggarakan Diskusi Pojok Iklim dengan mengangkat tema “Peningkatan Ambisi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca: Bekal Indonesia Menuju COP-26 Glasgow”, pada hari Rabu, (25/8).
Direktur Jenderal EBTKE, Kementerian ESDM, Dadan Kusdiana menyampaikan bahwa berdasarkan hasil verifikasi, capaian NDC dari sektor energi sampai dengan tahun 2020 sudah di atas target, yaitu sebesar 64,4 juta ton CO2e dari target 58 juta ton CO2e. Meskipun begitu, angka penurunan emisi tersebut masih tergolong kecil untuk mencapai 314 juta ton CO2e, dengan kata lain untuk mencapai target 29% di tahun 2030 masih sangat jauh.
“Tantangan ke depan akan semakin besar karena volume-volume yang harus dicapai semakin lama semakin besar. Dengan sinergitas kegiatan lintas sektor, diperkirakan kita dapat menambah angka penurunan emisi dengan upaya sendiri/tanpa bantuan internasional (CM1) pada tahun 2030 sebesar 36,72 juta ton CO2e. Skenario yang dipersiapkan untuk menuju target tersebut antara lain melalui pemanfaatan EBT sebesar 10,1 juta ton CO2e, penerapan efisiensi energi sebesar 16,7 juta ton CO2e, transisi pada bahan bakar rendah karbon sebesar 9,56 juta ton CO2e, dan reklamasi paska tambang sebesar 0,38 juta ton CO2e,” jelas Dadan.
Kemudian, Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, KLHK, Laksmi Dhewanthi menyampaikan bahwa dokumen Updated NDC memuat elemen adaptasi perubahan iklim sebagai elemen yang sama pentingnya dengan elemen mitigasi, serta target yang melingkupi upaya mencapai ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan sumber penghidupan, serta ketahanan ekosistem dan lanskap.
Dikatakan Laksmi, angka target penurunan emisi GRK memang tidak berubah, namun ada peningkatan ambisi dan strategi untuk mencapai target 41% di tahun 2030. Dalam dokumen tersebut, ada peningkatan ambisi implementasi, misalnya komitmen terkait elemen adaptasi dan ETF, update informasi berkaitan dengan visi misi nasional yang sesuai dengan kondisi saat ini, serta penjelasan terhadap hal yang masih perlu informasi rinci, misalnya terkait pemukiman dan kelautan untuk elemen adaptasi.
Selain Updated NDC, Indonesia juga menyampaikan dokumen Long Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 yang merupakan komunikasi visi upaya aksi perubahan iklim sampai dengan 2050. LTS-LCCR 2050 bukan merupakan komitmen namun merupakan dokumen komunikasi dan sampai saat ini tidak berstatus legally-binding.
“Kedua dokumen ini (Updated NDC dan LTS-LCCR) disampaikan secara bersamaan karena Indonesia memiliki perencanaan jangka panjang menuju 100 tahun Indonesia Merdeka 2045. Indonesia selalu serius dalam melakukan pengendalian perubahan iklim, bukan untuk sekedar mematuhi komitmen global, tapi ini merupakan mandat yang ada di UUD 1945. Dengan ini, diharapkan kita bisa mencapai target 2030 dan bisa memantapkan upaya-upaya jangka panjang,” jelas Laksmi.
Lebih lanjut, KLHK juga telah mengembangkan berbagai macam modalitas atau support system untuk memastikan apa yang direncanakan di NDC bisa tercapai, diantaranya strategi dan peta jalan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Sistem Inventori Gas Rumah Kaca (GRK), Sistem Registri Nasional (SRN), Sistem Informasi Data Indeks Kerentanan (SIDIK), Program Kampung iklim (Proklim) dan lainnya. Support system ini terus berkembang dan bergerak sesuai dengan kebutuhan karena tantangan dan strategi ke depan memerlukan dukungan.
Laksmi mengatakan mengenai dukungan pendanaan, “Kita juga mengembangkan 4 strategi pendanaan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yaitu menguatkan fiskal, menguatkan akses kepada sumber-sumber pendanaan global, mendorong agar kegiatan aksi mitigasi dan adaptasi menjadi kegiatan yang menarik investasi, dan mengembangkan skema pendanaan yang inovatif,” kata Laksmi.
Sementara itu, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, KLHK, Ruandha Agung Sugardiman mengatakan bahwa sektor kehutanan memiliki target penurunan emisi sebesar 24,1% dan menjadi porsi terbesar dari total keseluruhan target NDC yaitu sekitar 59%. Rencana operasional sedang disusun untuk upaya mitigasi di tingkat tapak sebagai akselerasi penurunan emisi GRK. Skenario LCCP salah satunya dilakukan untuk menuju FOLU Net Sink pada tahun 2030 dan emisi negatif pada tahun 2050.
“Enam aksi mitigasi utama di sektor FOLU yaitu kegiatan REDD+ (pengurangan laju deforestasi dan degradasi hutan), pembangunan hutan tanaman industri, pengelolaan hutan lestari, rehabilitasi hutan, pengelolaan lahan gambut termasuk mangrove, dan peningkatan peran konservasi keanekaragaman hayati. Program pokok untuk menuju Net Sink FOLU 2030 diantaranya pengurangan emisi dari deforestasi dan lahan gambut sampai dengan penegakan hukum, serta dilengkapi implementasi pengembangan sistem informasi dan kampanye publik,” ujar Ruandha.
Ketua Dewan Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim, Sarwono Kusumaatmadja dalam sambutan penutupnya menyampaikan bahwa dalam Updated NDC tidak dilakukan perubahan numerik, namun ada perbaikan strategi pencapaian. Isu laut yang sebelumnya belum tertampung dalam Perjanjian Paris kini menjadi semakin prominent karena dampak perubahan iklim dan masalah lainnya yang semakin dahsyat di seluruh dunia. Indonesia perlu menerapkan disiplin Lead by Examples untuk mencapai target-target NDC.
Dalam diskusi pojok iklim kali ini, Ahyani Sidik, Sekretaris Daerah Kota Surakarta, yang merupakan wakil Indonesia dalam pertemuan The International Panel of Experts on Sustainable Food Systems (IPES-Food), yang merupakan bagian dari Event Food and Climate COP26 UNFCCC, menceritakan inisiatif Pemerintah Kota Surakarta dalam mengurangi emisi karbon. Ahyani menyampaikan walau dengan keterbatasan lahan, dalam mengupayakan target tata ruang 30% lahan untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH), Kota Surakarta menerapkan Urban Farming dengan keterlibatan masyarakat untuk memenuhi ketahanan pangan dan kesejahteraan lingkungan.
Diskusi virtual yang dipandu oleh Peneliti Utama Kementerian LHK Haruni Krisnawati ini dihadiri oleh lebih dari 630 peserta yang terdiri dari Kementerian/Lembaga, organisasi non-pemerintah, perguruan tinggi, sektor privat dan individu.
Penulis : Hadi Prabowo