Katafakta.id – Akibat unggahan sebuah artikel tiga hari yang lalu viral, dimana pedagang sapi mengeluh dan sekarang merembet ke pedagang pasar yang lain, mereka mulai berani bersuara akibat viralnya pemberitaan sebelumnya. Keluhan Pedagang daging sapi ternyata belum berhenti sampai disitu, karena masih banyak yang belum diketahui dan diungkapkan ke publik.
Ketika pedagang daging sapi resah, penjual sembako juga ikut resah, karena tidak ada aturan yang jelas dari Dinas pasar maupun Dinas terkait, minimnya sosialisasi kepada pedagang terhadap pembatasan Pedagang Kaki Lima (PKL) terkait jam operasional. Tidak diaturnya jam operasional mengakibatkan dampak penurunan penjualan yang ada di dalam pasar, karena pembeli malas mau masuk ke dalam pasar lantaran di luar sudah ada yang jualan.
Salah satu pedagang sembako mengatakan bahwa, “Bukan kami tidak setuju adanya PKL di pasar Lawang, kami sangat setuju saja, sama-sama cari nafkah untuk keluarga dan kami tidak menyalahkan PKL. Mereka juga membayar retribusi berjualan, kami hanya minta ketegasan dari Dinas Pasar untuk memastikan jam operasional PKL untuk berjualan”, ujarnya Minggu (21/01/24).
Petugas harus tegas menegakan aturan yang sudah disepakati, kami paham dan mengerti pedagang dalam pasar dan PKL sama-sama mencari nafkah demi kehidupan dirinya serta keluarga, dampaknya pasar Lawang akan semakin semerawut, sangat berimbas pada pedagang yang ada di bagian dalam pasar.
“Kami hanya minta tegakkan aturan, tertipkan untuk PKL yang bandel, Dinas pasar harus turun ke lapangan memberi tau dan pengertian kepada PKL biar sama-sama paham dan menjaga kerukunan antar pedagang,” imbuhnya dengan tegas pada awak Katafakta.id.
Apalagi terdapat edaran atau himbauan dimungkinkan adanya kenaikan tarif retribusi, ini membuat pedagang pasar sangat tidak setuju, khususnya pedagang yang di dalam bedak. Hal tersebut dikarenakan banyak kewajiban yang harus dibayar, antara lain retribusi harian yang harus diperpanjang, SK bedak tiga tahun sekali untuk perpanjang SK, meskipun tidak ada aturan yang pasti.
Dampak dari kebakaran hampir lima tahun belum ada kejelasan terkait pembongkaran total atau renovasi pasar, ditambah kondisi pasar kumuh dan kotor menjadikan berkurangnya pembeli masuk ke dalam pasar dimana hal ini mempengaruhi pemasukan bagi penjual yang memiliki bedak di dalam pasar.
“Kami berharap kepada pemerintah daerah agar bisa memberikan kebijakan terkait aturan pembatasan pedagang PKL demi kebaikan bersama”, ujar Ketua Paguyupan Pasar Daging Gatot.
Menurut advokasi pedagang yang di wakili Moch. Wahyu Nur Agung Satriyo, S.H. diduga ada hal-hal yang menaikan tarif retribusi antara Rp 1.000 (seribu rupiah) sampai dengan Rp 2.000 (dua ribu rupiah) dari pembayaran biasanya. Sekali lagi, ini juga belum ada kepastian aturan yang jelas ada yang bilang belum naik tarif retribusi, tapi kenyataanya teman-teman pedagang PKL sudah ada yang mengeluh dinaikan, membuat pedagang PKL semakin susah untuk ditertibkan karena mereka yang merasa membayar retribusi lebih dari cukup.
Kalau sampai itu terjadi apalagi terdapar saksi yang benar-benar menguatkan membayar retribusi lebih, maka itu akan menjadi tindak pidana terkait pungli atau penarikan yang ilegal. Semua pedagang tidak mengetahui aturan yang jelas terkait tarif retribusi harian, retribusi sampah, apalagi biaya perpanjangan SK bedak tiga tahun sekali itu, tidak adanya transparansi ke pedagang atau sosialisasi kepada pedagang.
“Saya yakin pedagang tidak ada yang paham, karena tidak pernah disampaikan ke pedagang soal itu. Apalagi pedagang pasar dikaitkan dengan Perda (Peraturan Daerah) yang baru, di dalam peraturan terdapat banyak pasal serta aturan. Saya yakin 80 persen pedagang tidak akan paham serta tahu semua isi yang ada di Perda, maka dari itu perlu adanya sosialisasi yang tepat sasaran,” ucap tim advokasi Moch. Wahyu Nur Agung Satriyo, S.H.) atau yang akrab dipanggil Agung”.(tim)