
TEBO– Koperasi Tujuan Murni Desa Sungai Keruh, Kecamatan Tebo Tengah, menggelar rapat anggota pada Selasa malam (19/8/2025) di kediaman Ketua Koperasi, Sulaiman.
Rapat yang dimulai pukul 19.30 WIB dan dipimpin Wakil Ketua Koperasi, Hafizan Romy Faisal, dihadiri pengurus serta anggota yang tercatat dalam daftar hadir.
Agenda utama rapat adalah membahas Perjanjian Kerja Sama (MoU) antara Koperasi Tujuan Murni dengan PT Tebo Indah yang mengalami perubahan melalui adendum, serta sejumlah persoalan lain yang dinilai penting bagi kepentingan koperasi dan anggotanya.
Adapun hasil rapat menyepakati beberapa poin penting, yaitu:
Seluruh biaya operasional dibebankan kepada perusahaan, termasuk penggantian kerugian petani atas lahan yang tidak ditanam, tidak diurus, maupun yang mengalami kerusakan (75%).
Petani menerima 25% bagi hasil bersih dengan sistem pengelolaan kebun bersama berdasarkan prinsip-prinsip kemitraan.
Koperasi meminta dilakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPRD Kabupaten Tebo.
Seluruh kegiatan PT Tebo Indah dihentikan sementara sebelum ada kesepakatan baru.
Anggota koperasi memberikan kuasa penuh kepada pengurus untuk memutus kerjasama kemitraan apabila adendum tidak sesuai dengan permintaan koperasi dan petani.
Wakil Ketua Koperasi Tujuan Murni, Hafizan Romy Faisal, menjelaskan bahwa rapat ini digelar setelah pihak pengurus menerima salinan perjanjian kerjasama terbaru.Setelah diteliti, ditemukan banyak pasal yang mengalami perubahan tanpa sepengetahuan anggota koperasi.
“Karena itulah rapat ini digelar, agar keputusan bersama bisa diambil demi kepentingan anggota koperasi,” ujarnya.
Hafizan menambahkan, kondisi perusahaan juga dinilai sudah tidak sehat sehingga perlu kejelasan dalam pola kemitraan.
Sementara itu, di balik persoalan perjanjian kerjasama, para petani mitra mengaku terus merasakan dampak berat dari kecilnya hasil bagi kebun plasma. Salah satunya dialami Abu Bakar (56), warga Desa Sungai Keruh.
Sudah hampir dua dekade ia bermitra dengan PT Tebo Indah sejak tahun 1997. Harapan awalnya untuk memperbaiki kehidupan keluarga justru tak pernah terwujud. Dari lahan 3 hektare miliknya, ia hanya menerima rata-rata Rp200 ribu per bulan per hektare, paling tinggi Rp300 ribu walaupun disaat tingginya harga sawit Rp3.000 per kilogram.
“Jangankan untuk sekolah anak, untuk makan sehari-hari saja susah,” keluhnya.
Keterbatasan itu membuat anak pertama Abu Bakar hanya bisa tamat SMA, sementara anak kedua berhenti di bangku SMP karena tidak ada biaya.
“Padahal saya ingin sekali anak-anak bisa kuliah, punya nasib lebih baik dari bapaknya,” ucapnya lirih.
Ia pun berharap pemerintah dan pihak terkait turun tangan untuk memperhatikan nasib ribuan petani plasma yang mengalami kondisi serupa.
“Ada ratusan petani yang nasibnya sama dengan saya,” pungkasnya.